PURWOREJO, Volume sampah di Purworejo setiap tahun semakin bertambah. Saat ini per tahunnya potensi timbunan sampah se-Kabupaten Purworejo perhitungannya mencapai 127 ribu ton/tahun. TPA yang dibuka sejak tahun 1997 ini telah direhab pada tahun 2013. Dan pada tahun 2026 akan mengalami over capacity.
“Secara teknis TPA Jetis yang memiliki luas 4,9 hektare tahun 2023 sudah habis atau over capacity. Tapi karena ada pengurangan baik oleh pemulung dan dibuat kompos serta magot maka masih bisa berjalan sampai tahun 2026. Tahun depan akan kami perluas lokasi TPA untuk mencegah over capacity,” kata Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Perikanan (LHP) Wiyoto Harjono pada Senin (5/8).
Dalam acara LHP bersama para pengelola bank sampah di Rumah Makan Satria Bogowonto tersebut, Wiyoto lebih lanjut menjelaskan, saat ini sampah yang bisa dikelola baik oleh pemulung maupun LHP di lokasi TPA baru mencapai 44%. “Kami akan lebih menekankan penanganan di tingkat hulu sehingga peran bank sampah cukup signifikan walaupun masih pada pemilahan sampah anorganik yang punya value ekonomi,” imbuh Wiyoto.
Ditambahkannya, sampah anorganik dibagi menjadi dua bagian yakni yang memiliki high value dan low value. High value yakni yang memiliki nilai ekonomi tinggi seperti limbah botol air mineral. Adapun anorganik yang low value yakni tas plastik (kresek) yang kini banyak dipakai masyarakat.
“Dulu kalau beli cabai atau daging pakainya daun pisang dan daun jati. Tapi sekarang semua serba plastik. Di Purworejo ini penduduknya mencapai 800 ribu orang dengan jumlah keluarga ada sekitar 200 ribu. Kalau dalam sehari satu keluarga memakai kantong plastik atau kresek sebanyak tujuh maka ada 1,4 juta sampah kresek per harinya. Itu baru sampah plastik saja,” ujar Wiyoto.
Belum lagi sampah organik basah berupa sisa makanan yang paling menimbulkan bau menyengat. Saat ini pihaknya bersama warga sekitar TPA Jetis telah mengelola sampah organik basah untuk pakan magot sejumlah 50kg/hari. Sehingga memiliki nilai ekonomi tinggi karena dijadikan pakan untuk kebutuhan peternakan. Adapun sampah organik kering berupa daunnya dibuat kompos.
Dengan adanya bank sampah, Wiyoto berharap bisa mengolah sampah menjadi berkah. “Kami berharap ini bisa disentralisasikan di masyarakat sehingga sampah punya potensi ekonomi yang besar. Basisnya pengelola bank sampah kan para relawan. Mereka ini merupakan pihak yang diharapkan dapat mengolah sampah menjadi rupiah yakni dengan cara memilah,” kata Wiyoto.
Disebutkan nahwa saat ini di Purworejo ada sekitar 200-an bank sampah. Meski begitu baru 128 yang teregistrasi dan ada evidennya. Terbanyak di Kecamatan Pituruh dengan jumlah bank sampahnya lebih banyak dari jumlah desa yang dimiliki yakni 48.
Selama ini sampah yang masuk ke TPA banyak yang tercampur dan belum dipilah. Pihak LHP selaku pengelola sampah berharap semua sampah bisa dipilah terutama yang memiliki high value sehingga yang masuk ke TPA hanya yang benar-benar residu.
“Konsep 3R yakni reduce, reuse, dan recycle sebenarnya semua mayarakat sudah paham, tapi belum menerapkannya. Salah satu caranya yakni kurangi sampah termasuk plastik atau kresek dengan membawa sendiri tas belanja dari rumah. Kami berharap seiring dengan bertambahnya sampah kita harus lebih aware terhadap upaya pengurangan sampah,” pungkas Wiyoto.
Acara tersebut juga dirangkai dengan sosialisasi dari BPJS Ketenagakerjaan kepada para peserta yang merupakan pengelola bank sampah. Terutama bagi pekerja bukan penerima upah yang belum terlindungi oleh asuransi secara mandiri. (Dia)