PURWOREJO, Perjalanan Sekolah Mutiara Ibu yang kini genap berusia 25 tahun tidak lahir dari ambisi besar, melainkan dari keprihatinan dan kasih seorang perempuan terhadap kondisi bangsa. Ketua Yayasan Kasih Ibu, Titik Yatiman, mengenang awal mula berdirinya sekolah tersebut bukanlah hasil perencanaan matang, melainkan panggilan hati untuk menanamkan nilai moral dan kebersamaan di tengah keragaman.
“Dua puluh lima tahun lalu saya tidak berniat mendirikan sekolah. Waktu itu saya prihatin, di mana-mana banyak konflik. Di Aceh, Lombok, di berbagai daerah. Saya pikir semua itu terjadi karena kurangnya rasa kebersamaan,” tuturnya saat ditemui pada Jumat (17/10/2025). Titik mengibaratkan keberagaman Indonesia sebagai pelangi dengan warna-warni yang berpadu indah jika dibingkai oleh rasa saling menghargai dan mengasihi. Dari pemikiran itu, ia berkeinginan untuk mengajarkan anak-anak sejak dini tentang moral, budi pekerti, dan sopan santun.
“Saya waktu itu cuma mengumpulkan anak-anak tetangga, anak tukang becak, anak pesuruh. Saya ingin mereka belajar mengucap terima kasih, permisi, dan unggah-ungguh yang dulu diajarkan dalam pelajaran budi pekerti. Saya ingin tebalkan lagi,” kenangnya.
Tanpa disangka, anak-anak yang diajarnya menunjukkan perubahan perilaku yang positif. Orang tua mereka pun mulai menitipkan lebih banyak anak, hingga kegiatan kecil di rumah Titik berkembang menjadi lembaga pendidikan formal.

“Awalnya hanya PAUD dan TK, dulu bahkan disebut PADU. Lama-kelamaan berkembang, orang tua ingin anaknya terus di sini, akhirnya berdirilah SD Mutiara Ibu hingga SMP Mutiara Bangsa,” jelasnya.
Dalam perjalanannya, Sekolah Mutiara Ibu juga menjadi tempat belajar bagi guru-guru PAUD dari berbagai daerah di Indonesia. Mereka datang untuk magang dan belajar praktik pembelajaran berbasis karakter yang diterapkan di Purworejo ini.
“Sekarang banyak guru magang yang datang dari luar kota. Mereka menginap di hotel. Saya ingin suatu saat punya tempat penginapan sendiri agar lebih hemat dan nyaman. Sekarang ini sudah mulai dibangun, tapi ini baru satu lantai karena dananya belum ada,” ujarnya dengan senyum.
Titik juga menegaskan pentingnya pendampingan anak sejak dini hingga remaja. Menurutnya, setiap anak memiliki bakat dan cita-cita sendiri yang harus dihargai, bukan dipaksakan mengikuti jejak orang tua.

“Saya ingin anak-anak dipantau sejak kecil, supaya bakatnya terlihat. Jangan karena orangtuanya dokter, anaknya juga harus jadi dokter. Setiap anak punya jalan masing-masing,” katanya.
Meski usianya kini hampir 79 tahun, semangat Titik untuk dunia pendidikan tidak pernah padam. Ia mengaku merasa terpanggil untuk terus memberi manfaat bagi orang lain, khususnya para guru yang ia dorong agar tetap semangat dan ikhlas mengajar.
“Saya merasa terpanggil. Apa manfaat saya kalau tidak saya gunakan untuk hal baik? Mungkin ini cara saya untuk tetap bermanfaat bagi orang lain,” ucapnya haru.
Titik juga menyoroti tantangan dunia pendidikan di era digital, terutama dalam penggunaan gawai oleh anak-anak. Ia mengingatkan pentingnya peran orang tua dalam memantau penggunaan HP, agar tetap digunakan untuk hal positif. “Sekarang pelajaran pun banyak yang pakai HP, tapi orang tua harus memantau sejauh mana anak menggunakannya,” pesannya.
Di akhir wawancara, ia menitipkan pesan kepada seluruh siswa Mutiara Ibu dan Mutiara Bangsa agar terus menuntut ilmu tanpa melupakan nilai keluarga dan rasa hormat kepada guru.
“Raihlah ilmu setinggi-tingginya, tapi jangan lupa darimana kamu berasal. Hormati orang tua, sayangi ayah dan ibu, dan selalu berterima kasih kepada guru yang telah mendampingi,” tutupnya. (Ita)