PURWOREJO, Dari tahun ke tahun jumlah kelompok kesenian tradisional di Kabupaten Purworejo mengalami kenaikan. Dari enam kelompok seni yang diklasifikasikan oleh Bidang Kebudayaan Dindikbud Kabupaten Purworejo, jumlahnya mencapai 1.238 grup. Terbanyak yakni jenis rebana, hadroh atau qasidah, mencapai 546 grup.
Data yang disampaikan oleh Kabid Kebudayaan Dindikbud Kabupaten Purworejo, Dyah Woro Setyaningsih menyebutkan, enam kelompok kesenian dimaksud yakni dolalak, angguk, balingun dan sejenisnya ada 160 grup, jaran kepang/kuda lumping dan sejenisnya 282 grup.
Lalu rebana, hadroh atau qasidah 546 grup, keroncong/orkes melayu 106 grup, ketoprak, karawitan tari tradisional, kesenian pencak silat 90 grup, topeng ireng/dayakan 54 grup. “Totalnya tahun 2023 ini mencapai 1.238 grup kesenian,” ungkap Woro kepada Purworejo News, Senin (21/8).
Dari enam kelompok kesenian tersebut, yang mengalami kenaikan jumlah paling signifikan yakni rebana/hadroh/qasidah. Tahun 2019 hanya 179, lalu di tahun 2023 mencapai 546 atau mengalami kenaikan lebih dari 200%.
Woro menyebutkan, dari 1.238 grup kesenian tersebut, 1.056 diantaranya telah terdaftar. Pihaknya pun mengaku melakukan pembinaan terhadap kelompok kesenian tersebut dengan berkolaborasi dengan pihak kecamatan.
“Kami mendata grup kesenian tersebut dari 16 kecamatan yang ada di Kabupaten Purworejo. Selanjutnya kesenian rakyat di tingkat kecamatan tersebut kami garap untuk ditampilkan dalam beberapa event resmi,” jelas Woro.
Seperti misalnya saat peringatan hari jadi Purworejo serta berbagai festival. Termasuk yang diikutsertakan pada Festival Perbatasan Kulonprogo dan berhasil meraih penghargaan sebagai penyaji terbaik. Juga Parade Budaya Jawa Tengah.
Bahkan untuk kesenian Dolalak, Woro mengaku setiap hari menandatangani ijin pentas. “Dolalak sudah jadi daya tarik untuk ditampilkan di daerah tetangga seperti Purbalingga dan Temanggung. Mereka pun bisa hidup dari kesenian yang digeluti karena nilai ekonominya semakin tinggi,” imbuh Woro.
Pihaknya pun berusaha mengangkat pamor kesenian tradisional tersebut dengan melakukan modifikasi garapan yang lebih elegan dengan tidak melepaskan diri dari pakem. “Seperti misalnya tampilan yang lebih sopan pada tari Dolalak yang ditampilkan di event resmi kenegaraan,” imbuh Woro.
Termasuk tugasnya yakni membawa kesan bahwa kesenian tradisional bisa tampil di tempat prestisius. Seperti di panggung yang megah pada acara resmi, tidak hanya di level tanggapan hajatan di lapangan terbuka.
Terkait kesenian tradisional Cing Po Ling, Woro berkomentar bahwa saat ini tinggal dua kecamatan yang masih memilikinya, yakni Pituruh dan Kaligesing. Untuk melestarikan warisan kebudayaan yang sidah berusia ratusan tahun itu, Cing Po Ling selalu ditampilkan pada acara Jamasan Pusaka.
“Memang dilihat dari pelaku seni Cing Po Ling yang sebagian besar sudah sepuh-sepuh, kami berharap kesenian ini dipelajari oleh generasi muda. Nanti kami akan adakan dialog dan ajak ngobrol bareng agar kesenian ini tetap lestari,” tandas Woro. (Dia)