GEBANG, Eco Choo merupakan merk dagang yang bergerak di bidang manufaktur produk dog choo atau mainan gigit-gigitan untuk anjing yang terbuat dari kayu kopi atau sabut kelapa. Semula berlokasi hanya di Desa Popongan Kecamatan Banyuurip sebagai tempat operasional. Tapi karena tidak cukup, akhirnya menggunakan lokasi lain yakni di Desa Winong Kecamatan Gebang sebagai tempat penyimpanan bahan baku dan packing.
Saat ini marketnya merupakan negara seperti Amerika, Inggris, dan Belgia serta tengah melakukan penetrasi ke beberapa negara lain. “Kalau pasaran di dalam negeri tidak terlalu bagus sih, karena kan di Indonesia itu cat people bukan dog people mengingat 80% adalah muslim. Paling kalau di Indonesia buyernya dari Bali atau provinsi timur. Lain kalau di (negara Barat) sana, hampir semua rumah punya anjing peliharaan,” tutur Direktur Eco Choo Dewi Harlas saat menyebutkan peluang ekspor.
Ekspor perdana, meski dalam skala kecil dilakukan seminggu lalu yakni ke Amerika. Selanjutnya pada Selasa (19/11) akan kembali melakukan ekspor, kali ini ke Belgia dengan skala besar yakni satu kontainer berukuran 40 feet high cube atau ukuran terbesar sebuah peti kemas. Selanjutnya Inggris dan beberapa negara lain sudah menunjukkan lampu hijau ekspor.
Dewi pun menyebutkan alasan memilih bisnis dog choo ini. Yakni saat para petani kopi di Temanggung mengeluh karena kayu kopi yang mengalami peremajaan tidak dipakai. Daripada buat kayu bakar, Dewi pun mencari tahu tentang pemanfaatan limbah kayu kopi tersebut yang ternyata bisa jadi handycraft. “Akhirnya muncullah produk dog choo yang harganya cukup tinggi di pasar internasional,” ungkap Dewi saat ditemui Purworejo News pada Jumat (15/11).
Iapun membuat sampel produk dan kemudian ditawarkan ke berbagai media promo termasuk mencari distributor dari luar negeri. Akhirnya produk tersebut diekspor ke Amerika seminggu lalu.
Saat ini perusahaan manufaktur yang disebut Dewi masuk dalan kategori UMKM ini memiliki 40 karyawan ditambah sekitar 100 orang ibu-ibu rumah tangga di sekitar Desa Winong dan Desa Popongan. Mereka bekerja untuk mengerok kayu kopi dan membuat ikatan tali dari sabut kelapa.
Harga dog choo bervariasi tergantung ukurannya, yakni berkisar US$5 atau sekitar Rp80 ribu untuk ukuran extra small hingga US$ 50 atau sekitar Rp800 ribu.
Produk ini, menurut Dewi yang asli dari Desa Popongan, benar-benar memanfaatkan limbah, baik kayu maupun sabut kelapa. “Kayu yang diambil bukan kayu produktif jadi tidak menggangu ekosistem tanaman kopi,” jelas Dewi.
Sayangnya, di Purworejo ketersediaan bahan baku dinilainya masih kurang. Apalagi dalam skala besar, seminggu diperlukan sekitar dua truk besar dengan kapasitas satu truk berkisar delapan ribu batang kayu kopi. Sehingga dalam seminggu dibutuhkan sekitar 16 ribu batang.
Secara produksi, kayu kopi dengan ukuran panjang satu meter tersebut kemudian dipotong sepanjang 19 cm sehingga masing-masing menjadi lima potong/stik. Selama ini sudah ada 70 model dog choo berbagai ukuran yang diproduksi oleh Eco Choo. Berupa stik, choco roop toys, cinnamon wood donut, coffee wood donut, slice coffee wood, dan slice cinnamon wood.
Dewi menilai di Purworejo pemenuhan kebutuhan tersebut masih kurang, karena hanya satu petani kopi yang bisa mensuplai, itupun dengan jumlah terbatas. Ia mengakui selama ini baru menawarkan peluang penyediaan kayu kopi dan juga sabut kelapa melalui medsos. “(Peminat) yang masuk malah dari Temanggung, Magelang, dan Bandung. Padahal kalau dari Purworejo ada, kan bisa membantu masyarakat di sini dan juga secara lokasi lebih dekat,” ungkapnya.
Sampai saat ini Eco Choo belum genap setahun beroperasi, tepatnya baru tujuh bulan sejak Maret 2024. Namun Dewi optimistis bisnis ini bisa terus berkembang. Bahkan kalau sesuai kontrak seharusnya ia bisa memenuhi kebutuhan ekspor sebanyak lima kontainer berukuran besar. Dewi pun sebenarnya berencana mau ikut pameran, tapi sayang kapasitas produksinya saja belum terpenuhi.
Dirinya merasa bersyukur, pemda mau memperhatikan produk UMKM-nya melalui kunjungan yang dilakukan oleh Pjs Bupati Purworejo beberapa waktu lalu. Eco Choo, manufaktur binaan PT Astra di bawah pimpinan Dewi ini pun berharap agar ketersediaan bahan baku bisa dipenuhi oleh masyarakat Purworejo agar lebih efisien.
“Juga kolaborasi yang sebetulnya bisa dibantu. Kami juga ingin kerjasama dengan kelompok petani agar bisa menyediakan bahan baku. Sedangkan harapan kami ke pemda supaya bisa membantu memberikan modal untuk pengadaan mesin yang harganya sangat mahal. Ini agar kami bisa meningkatkan kapasitas produksi karena tingginya permintaan ekspor,” tandas Dewi. (Dia)