KEMIRI, Pemerintah Desa Kemiri Kidul Kecamatan Kemiri bersama warga memasang peringatan berupa spanduk dan baliho kepada penyewa tanah desa yang dijadikan kios pada Sabtu (10/2) Dalam baliho disebutkan harga kios yang semula Rp 500 ribu hingga Rp 1 juta diubah menjadi Rp 10 juta hingga 12 juta dengan batas pembayaran tanggal 9 Februari. Selain itu mereka juga memasang papan peringatan berisi pesan agar para penyewa tanah kas desa atau kios yang belum membayar sewa untuk mengembalikan aset kepada pemdes paling lambat tanggal 29 Februari.
Baliho serta papan peringatan dipasang di sekitar 31 kios yang berlokasi di sekitar Pasar Kemiri tersebut. Para pemilik kios hanya dapat menyaksikan pemasangan baliho serta papan peringatan yang dipasang di depan kios dan tembok mereka.
Terkait hal tersebut, Kades Kemiri Kidul, Pandu Arioko Putra menjelaskan, kebijakan kenaikan tarif sewa tanah dilakukan karena menurutnya masyarakat desa sudah terlalu lama mengharapkan keadilan melalui kepemilikan aset yang dinilai kurang maksimal.
Pandu merinci, pendapatan asli desa (PAD) yang diterima dari sewa kios sangat minim, yakni hanya sekitar Rp 7.750.000 dari 31 kios di lahan seluas 2.778 m2. “Ini akan kami maksimalkan berdasarkan prosentase yang sudah ditetapkan. Yakni 30% untuk infrastruktur, 10% untuk bidang pendidikan, keagamaan, sosial, kesehatan, dan tagana. Lalu 5% untuk kebudayaan, tunjangan kinerja RT, RW, BPD, dan aparatur pemdes,” rincinya.
Melalui peningkatan PAD tersebut Pandu berharap, saat ada siswa berprestasi pihak pemdes dapat memberikan apresiasi, tidak hanya berupa ucapan selamat dan doa seperti nyang selama ini dilakukan. Demikian pula bila ada warga yang sakit tapi BPJS-nya tidak bisa digunakan, pemdes bisa membantu. Termasuk juga digunakan untuk insentif para kiai dan subsidi kebutuhan mushola.
Peningkatan harga tersebut menurutnya masih dalam batas wajar mengingat selama ini pihak penyewa dianggap kurang peduli dengan berbagai permasalahan tersebut, apalagi selama ini sudah disosialisasikan. Pandu pun menyinggung adanya penyimpangan dalam penggunaan lahan. Menurutnya ada yang digunakan untuk tempat tinggal dan bahkan disewakan kembali.
Terkait dengan keputusan untuk tidak mengajak serta para penyewa tanah desa dalam menentukan tarif sewa, Pandu menyatakan ia sudah mengundang mereka. Hanya saja saat mengundang pihaknya sudah menentukan nilai atau menetapkan harga berdasarkan kondisi perekonomian saat ini.
“Kasarane kalau saya mau jual minuman ya saya yang mematok harga, tidak perlu membahas dengan konsumen terkait harga produksi dan sebagainya. Nek kerso ya monggo tumbas, kalau tidak ya sudah,” begitu ia menganalogikan.
Pandu menandaskan, bila pihak penyewa tidak mengindahkan peringatan, ia menyerahkan masalah tersebut kepada warga. Hal itunkarena menurutnya para penyewa sudah diberi surat peringatan (SP) sampai tiga kali. “Sebenarnya hari ini mau mengerahkan sekitar 500 orang, tapi kami sampaikan kepada warga supaya kooperatif,” pungkasnya.
Salah seorang penyewa tanah desa yang juga merupakan mantan kepala Desa Kemiri Kidul, Ahmad Sofan (60) kepada Purworejo News menuturkan, selama ini harga sewa tanah selalu dimusyawarahkan dengan para penyewa tanah. “Dulu sewanya Rp 850 ribu yang menghadap ke timur dan yang (menghadap) ke utara Rp 1 juta. Itu sudah sekitar sembilan tahun berjalan melalui dua kades sebelumnya,” tutur Sofan.
Ditambahkan, sebenarnya pihak penyewa tanah bisa diajak musyawarah dengan pemdes. “Sebenarnya kami bisa kok diajak musyawarah, wong selama ini selalu seperti itu. Tapi bulan Januari lalu kami ada pertemuan yang katanya pembahasan tanah kios. Tapi sampai di sana tidak dibahas, hanya disampaikan pembangunan yang akan dilakukan dan dia (kades, Red) langsung menentukan harga kios. Saat itu masukan kita tidak dianggap,” keluhnya.
Pihaknya pun lalu menyampaikan surat keberatan dan sampai sekarang tidak ada tanggapan. “Malah pemdes mengeluarkan SP 1 sampai 3 dan hari ini langsung dipasang itu,” imbuhnya. Para penyewa lahan tanah berharap Camat Kemiri dapat memediasi permasalahan tersebut. (Dia)
Setuju dengan pak pandu.karena selama ini yg diketahui ternyata tanah desa seperti Hak Milik Pribadi. Dan itu turun temurun..
Sekarang saatnya menempatkan semuanya pada tempatnya.
Yang bangun gedung nya kn warga. Ko diminta gratis sama desa. Itu namanya pemerintah yang merampok rakyatnya
Dilihat dari kronologinya tidak terdapat andil sama sekali dari pihak desa, apalagi warga ruko yang membangun bangunan hingga fasilitas secara mandiri, sepertinya justru warga ruko yang menghidupkan perekonomian warga sekitar. Rasanya sangat tidak etis apabila pihak desa yang selama ini tidak berkontribusi tiba2 mematok harga tanpa didasari kesepakatan bersama.
Ya sebaiknya harus di musyawarahkan, jd nantinya menghasilkan sebuah keputusan yg saling menguntungkan, bagaimanapun yg namanya milik desa itu jg tanah negara, rakyat/warga penyewa juga sebagai warga negara, apa artinya merdeka kalo rakyatnya justru tdk bisa ikut menikmati, toh tujuan dari kemerdekaan salah satunya adalah kesejahteraan, itu hy usulan jk yg lain berbeda pendapat juga syah saja..🙏