PURWOREJO, Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) Kabupaten Purworejo Tahun Anggaran 2026 dinilai masih sangat konsumtif. Kondisi ini menjadi pekerjaan rumah (PR) besar bagi Badan Anggaran (Banggar) DPRD Purworejo yang kini tengah membahas bersama eksekutif.
Dari total belanja daerah yang diusulkan mencapai Rp2,51 triliun, porsi belanja operasi mendominasi hingga Rp1,79 triliun atau sekitar 71,2 persen. Sementara belanja modal hanya Rp150,32 miliar atau setara 6 persen dari total belanja. Angka itu bahkan terendah dalam empat tahun terakhir.
Koordinator Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Kabupaten Purworejo, Lukman Khakim, menegaskan bahwa kecenderungan konsumtif ini harus menjadi perhatian serius Banggar DPRD. Menurutnya, arah APBD seharusnya memberi ruang lebih besar untuk investasi jangka panjang, bukan sekadar membiayai belanja rutin birokrasi.
“Belanja modal yang hanya Rp150 miliar jelas terlalu kecil. Padahal kita bicara total APBD lebih dari Rp2,5 triliun. Kalau pembangunan infrastruktur dasar seperti jalan desa, irigasi, pendidikan dan kesehatan tidak diperkuat, APBD ini hanya akan jadi anggaran konsumtif,” tegas Lukman, Sabtu (20/9/2025).
Data historis menunjukkan tren penurunan belanja modal yang mengkhawatirkan. Pada 2023 belanja modal tercatat Rp336 miliar, turun menjadi Rp290 miliar di 2024. Lalu merosot lagi ke Rp274 miliar pada 2025, dan kini hanya diusulkan Rp150 miliar dalam RAPBD 2026.
“Jika pola ini terus dibiarkan, Purworejo akan terjebak dalam APBD konsumtif yang memperlambat pemerataan pembangunan antar wilayah dan melemahkan daya saing daerah,” tandasnya.
Lukman juga menyoroti besarnya belanja pegawai yang mencapai Rp992,07 miliar, atau hampir 40 persen dari total APBD, atau enam kali lipat lebih besar dibanding belanja modal.
“Belanja pegawai hampir Rp1 triliun ini sudah mendekati batas aman. Banggar DPRD dan Pemkab harus berani melakukan efisiensi agar ruang fiskal untuk pembangunan tidak terus menyempit,” ujarnya.
Selain belanja pegawai, pos belanja barang dan jasa tercatat Rp707,89 miliar, hibah Rp83,62 miliar, dan bantuan sosial (bansos) Rp8,34 miliar, sedangkan belanja transfer ke desa mencapai Rp568,47 miliar.
JPPR mendorong agar belanja rutin, terutama perjalanan dinas dan kegiatan seremonial ditekan. Hibah dan bansos pun diminta diarahkan lebih selektif agar tepat sasaran dan tidak menjadi alat politik. Lukman menambahkan, DPRD sebagai lembaga pengawasan harus memastikan pembahasan RAPBD, tidak hanya formalitas.
“APBD Rp2,5 triliun ini adalah uang rakyat. Banggar DPRD tidak boleh hanya jadi tukang stempel, tetapi harus memastikan setiap rupiah benar-benar pro rakyat. Transparansi dan pengawasan harus diperkuat,” pungkasnya. (Dia)