Oleh: Wayah Bagelen
Pedut siang itu tidak hanya menyelimuti kota Magelang, rasanya seluruh Mataram berselimutkan pedut dingin penuh kesedihan.
Letnan Jenderal de Kock curang, bahkan boleh dikatagorikan petinggi yang tidak berjiwa tinggi tapi kerdil. Prajurit berpangkat jenderal bintang tiga, miskin akal normal dan rela sebagai pengkianat perdamaian yang sebetulnya mereka gagas sendiri.
Diponegoro Sang Ratu Adil siang itu tidak bisa berbuat lebih, kecuali pasrah ke Ngarso Gusti. Kemudian dibawa ke Batavia sebagi tahanan politik. Selanjutnya dengan kapal laut dibawa ke Manado dan penghabisannya dibuang ke Makasar di Frot Rotterdam (Peter Carey).
Secara getok-tular berita ditangkapnya Pangeran Diponegoro oleh kompeni tersebar dari mulut ke mulut. Menjelang subuh kabar itu baru sampai di kaki Bukit Simbar Joyo dimana legiun Pangeran Diponegoro yang masanggrah dibawah kendali Ki Jo Menggolo (yang semula ditugaskan sebagai laskar pengantar proses perdamian tawaran Belanda).
Semua prajutit berterik lantang: “Gempur Magelang, gempur Loci Tidar” dengan mengacungkan keris dan klewang disertai semangat namun penuh emosi.
Dengan mata teduh Ki Jo Menggolo menatap prajurit pilihan yang siap tempur hidup atau mati. Emosi prajurit itu meredah ketika Ki Jo Menggola menyadarkan dengan berembuk menghitung kekuatan, persenjataan dan amunisi.
Akhirnya semua prajurit pilihan itu sadar, tidak ada perlunya melawan kompeni sepuluh kali lipat dari pada potensi yang dipunyai sisa-sisa laskar Diponegoro. Artinya ibarat kutuk marani sunduk, atau dengan kata lain bunuh diri!
Tiga malam kemudian datang utusan Ki Resodiwiryo (wrekso wiryo) yang mengusulkan agar laskar Mataram ini bergeser ke selatan dan dalam perlindungan Ki Reksodwiryo.
Ki Jo Menggolo sudah lama kenal dengan Mantri Gladak Kasultanan. Resodiwiryo yang bertugas di wilayah Bagelen, tanpa pikir panjang menyetujui dan siangnya laskar mulai turun gumung bergerak ke selatan.
Sampailah di suatu tempat, sisa-sisa laskar Diponegoro istirahat. Mengingat hari sudah merambat petang, Ki Jo Menggolo adalah prajurit gemblengan pondok santri dan juga mempelajari belajar tasawud (islam jawa) mengisyaratkan hendak manepi (menyendiri) memohon wangsit kepada Gusti.
Laskar kemudian ia serahkan sementara kepada Bagus Buntaran. Buntaran prajurit yang sudah bergabung pada saat hijrah Diponegoro pada sore hari, 20 Juli 1825 dari Tegalrejo ke punggung Gunung Selarong (Peter Carey). Artinya Buntaran bukanlah bolo dupak, namun prajurit yang punya kedudukan tinggi.
Selama tiga hari laskar itu makuwon di belantara antara Purworejo – Magelang. Sampai Ki Jo Menggolo menyudahi perenungan mencari wangsit, petunjuk dari Gusti.
Dengan berat hati ia berkata kepada prajurit, bila sisa-sisa laskar ini harus dipecah menjadi dua, sebagian ke selatan sebagian lagi ke barat.
Butaran mengusulkan, dia dan yang lain melanjutkan terus ke arah selatan. Ki Jo Menggolo setuju usul Buntaran. Ki Jo Menggolo memimpin lasakar ke arah barat.
Sebelum berpisah kedua laskar itu saling berangkulan, maaf memaafkan. Siang yang haru, siang yang menyedihkan, mengingat mereka sudah lima tahun bersama-sama berjuang dengan kakek turun 7 dari tokoh PDI Perjuangan Purworejo sekarang untuk memerangi kafir laknatullah sebutan pejuang terhadap Belanda. Dan kini harus berpisah dan tidak ada petunjuk bila kelak akan bisa kembali bertemu.
Sebelum berpisah, Ki Jo Menggolo banyak berpesan kepada prajurit yang pernah dipimpinnya, terutama pada Bagus Buntaran.
Akhir dari acara perpisahan itu, Ki Jo Menggolo berucap mirip sebuah fatwa: bila kelak direjonya zaman alas (hutan), dimana laskar Mataram ini dibagi dua dan pisah, akan dinamakan Dukuh Maron (Penyebar Semangat edisi 1983).
Selanjutnya Bagus Buntaran pergi ke selatan arah kawasan baru Purworejo dan Ki Jo Menggolo ke arah barat.
“Serat Banyumas” (keturunan Ki Jo Menggolo, bernama Joko Kaiman) adalah pendiri wilayah Banyumas dan menjadi adipati pertama wilayah itu. (Bersambung)
apakah arti dari Dukuh Maron dan Loano ini ?